Kemudian duduk berdampingan dengan
GBPH Hadikusumo, salah satu putera almarhum
Sri Sultan Hamengku Buwono IX,
Pada hari kamis, malam jumat legi, tanggal 7 April 2011 diadakan ritual Subawa Rasa Kaki Gunung Nini Jaladri, gerakan api semangat keistimewaan, di depan Pagelaran Kraton Yogyakarta.
Pukul 19.00 WIB sudah terlihat aktivitas panitia di sana-sini. Satu demi satu para tamu undangan datang untuk menghadiri acara ini. Ada yang berjalan kaki, tetapi apa pula yang mengendarai sepeda motor maupun mobil. Kebanyakan para tamu undangan mengenakan pakaian tradisional jawa. Sedangkan petugas keamanan tetap mengenakan seragam mereka sendiri. Atas kaos hitam lengan panjang dan bawah, celana panjang hitam. Tak lupa mengenakan penutup kepala, berupa topi. Tetapi ada juga yang mengenakan pengikat kepala (bhs. jawa, kethu).
Sesekali petugas keamanan berjalan mondar-mandir sambil berbicara melalui Handy Talky (HT) yang dibawanya. Semua ini dilakukannya agar bisa berkoordinasi dengan teman-temannya yang berada di tempat lain. Sehingga diharapkan urut-urutan acara prosesinya bisa berjalan dengan baik dan lancar.
Dari kraton diwakili oleh Bapak GBPH. Hadikusumo, salah satu putera almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Beliau membawa pusaka berupa payung berwarna hijau tua. Sedangkan para pengikutnya ada yang membawa beberapa bendera dan satu gong besar.
Prosesi diawali dengan doa yang dilakukan oleh 3 orang. Satu orang mengenakan pakaian adat jawa. Dua lainnya, masing-masing mengenakan jubah putih dan bersorban (sisi kanan). Dan yang lainnya, mengenakan jubah putih dengan selendang panjang di lehernya, seperti seorang imam dari pemeluk agama kristiani (sisi kiri). Ketiga orang ini berjalan dari depan Pagelaran Kraton Jogjakarta menuju tengah-tengah Alun-alun Utara, di antara 2 pohon beringin. Sejenak mereka berdoa di sini. Kemudian setelah selesai, mereka kembali berjalan ke tempat semula.
Tak lama kemudian, rombongan dari Merapi datang, dengan membawa umbul-umbul, pusaka, dan peralatan lain yang digunakan untuk mendukung prosesi ritual ini. Rombongan dari Merapi disebut sebagai, Hargo Kakung. Disusul kemudian beberapa mobil membawa rombongan dari Parangtritis. Rombongan ini kebanyakan kaum wanita, baik tua maupun muda. Mereka mengenakan pakaian adat jawa yang didominasi warna hitam. Kebaya hitam dan jarik yang cenderung berwarna gelap. Rombongan ini disebut sebagai, Hargo Putri. Mereka juga membawa beberapa sesaji/peralatan untuk mendukung prosesi ini.
Acara ini juga didukung oleh para pelajar/mahasiswa yang sedang menimba ilmu di kota Yogyakarta ini. Mereka mengenakan pakaian adat dari daerah mereka masing-masing.
Prosesi rutual diantaranya: mengalunkan beberapa tembang, mempertunjukan petilan/fragmen tarian Damarwulan, serta prosesi memecahkan kendhi. Setelah itu, para anggota rombongan berbaris dan mempersiapkan diri untuk acara berikutnya, yaitu mengelilingi beteng kraton dengan berjalan kaki. Suasana menjadi tambah meriah karena masing-masing peserta kirab membawa obor.
Meskipun dari awal keberangkatan telah hujan rintik-rintik tetapi hal ini tidak menyurutkan niat/semangat para peserta kirab untuk mengelilingi beteng kraton.
Kedatangan rombongan dari Kraton,
Kedatangan rombongan dari Merapi,
Kedatangan rombongan dari Parangtritis,
Para tamu duduk bersila,
Ritual memecahkan kendi,
Persiapan awal kirab,
Persiapan akhir kirab,
Rombongan kirab mulai berjalan,
Kirab tetap berjalan meskipun diguyur hujan,